Sejarah Perlindungan Tanaman Di Indonesia


Kegiatan perlindungan tanaman (Proteksi Tanaman) di Indonesia telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda sebelum tahun 1900, kegiatan pertanian masih bersifat alami, hanya diusahakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri serta belum tersentuh ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekitar tahun 1600, VOC yang merupakan kumpulan pedagang Belanda menguasai perdagangan produk-produk pertanian Indonesia terutama pulau Jawa. Komoditas yang berkembang saat itu didominasi tanaman perkebunan yakni cengkeh, kopi dan gula tebu. Setelah VOC bangkrut, kekuasaan beralih pada pemerintahan kolonial Belanda. Selama pemerintahan ini perkebunan khususnya kopi, tebu, kakao dan tembakau mulai dikembangkan. Kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel) mulai dijalankan tahun 1830-1870.
Perkembangan kegiatan penelitian pertanian dan pembentukan dinas khusus yang menangani pertanian rakyat baru terlihat pada masa penjajahan Belanda setelah tahun 1900. Pendirian Kebun Raya Bogor dianggap sebagai tonggak dimulainya kegiatan-kegiatan pertanian di Indonesia, termasuk penelitian hama dan penyakit tanaman. Lembaga-lembaga penelitian mulai banyak didirikan dengan berbagai komoditas yang ditangani sehingga banyak hasil-hasil penelitian diperoleh dan dipublikasikan.  Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan Hindia Belanda dibentuk pada 1 Januari 1905 dengan Direktur pertama kalinya Dr. M. Treub. Tugas Departemen Pertanian adalah memperbaiki keadaan pertanian, peternakan dan perikanan tradisional yang kemudian dikenal sebagai pertanian rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jaringan irigasi dan infrastruktur lainnya guna meningkatkan produksi padi, palawija, dan sayuran. Adanya kebijakan Departemen Pertanian menyebabkan produksi tanaman pangan meningkat sehingga kebutuhan beras di luar Jawa dapat dipenuhi dari hasil sawah di pulau Jawa (Untung, 2007). 
Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, dan masa pencapaian kemerdekaan 1945-1950 sebagaian besar peneliti Belanda ditahan dan atau dipulangkan ke negeri Belanda. Bahkan lebih dari 80%  peneliti senior Belanda kembali ke Belanda. Pada zaman kolonial Jepang, tidak ada perhatian sama sekali terhadap peningkatan produksi pertanian.
Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 tidak diiringi dengan kemerdakaan pangan. Indonesia justru mengalami kekurangan pangan setelah memproklamirkan kemerdekaan. Masalah utama yang dihadapi pemerintah dan rakyat Indonesia adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan secara cukup untuk seluruh penduduk. Pada tahun 1946-1947 terjadi kekeringan panjang yang menurunkan produksi beras sehingga Indonesia harus melakukan impor dari negara lain (Untung, 2007). Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Rencana program pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dicoba dikembangkan oleh pemerintahan Presiden Soekarno, termasuk  pengembangan tanaman pangan baik padi maupun jagung, meskipun hasil yang diperoleh masih rendah. Indonesia mengadopsi teknologi revolusi hijau untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan istilah Panca Usaha Tani, meliputi penggunaan benih unggul, perbaikan pengairan, penggunaan pestisida untuk menekan hama penyakit, penggunaan pupuk anorganik, perbaikan teknik pemasaran (Martono, 2009). Konsep Panca Usaha Tani lahir pada tahun 1962 (Untung, 2007), dinilai cukup sukses, terbukti hasil padi dapat ditingkatkan dua kali lipat.
 Penggunaan pestisida sintetik di seluruh dunia termasuk di Indonesia semakin meningkat dan dominan pada era 1950. Penghargaan dan penerimaan masyarakat terhadap teknik-teknik pengendalian hama lainnya menurun. Penggunaan pestisida oleh sebagian besar petani dianggap lebih efektif, lebih praktis, serta mendatangkan keuntungan ekonomi lebih besar dibandingkan pengggunaan teknik-teknik pengendalian hama lainnya. Era setelah tahun 1960 merupakan era keemasan pestisida kimia. Permintaan dan penggunaan pestisida pertanian meningkat sangat cepat sehingga menumbuhkan industri-industri raksasa multinasional  yang  menguasai pasar pestisida dunia (Untung, 2006).
Keberhasilan penggunaan pestisida dalam melindungi tanaman dari serangan hama pernah menimbulkan optimisme masyarakat bahwa masalah hama sudah dapat terselesaikan secara tuntas. Optimisme tersebut mendorong negara-negara seluruh dunia menerapkan teknologi intensifikasi pertanian untuk peningkatan produksi pangan. Teknologi intensifikasi yang dikenal sebagai teknologi revolusi hijau dianggap mampu meningkatkan produksi pangan dunia dalam waktu cepat.
Kesuksesan program Panca Usaha Tani disebarluaskan dalam program Demonstrasi Massal pada MT 1964/1967. Program-program intensifikasi seperti Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus) melibatkan jutaan petani dan jutaan hektar sawah. Program-program intensifikasi tersebut dianggap mampu meningkatkan produksi padi dan meningkatkan taraf hidup petani (Untung, 2007), namun belum mampu membawa Indonesia berswasembada beras (Martono, 2009) 
Pada masa pemerintahan Orde Baru tahun 1970an, Presiden Soeharto mengeluarkan Program Repelita I dan diikuti dengan Repelita-repelita selanjutnya. Program pembangunan berencana tersebut memberikan prioritas utama pada pembangunan pertanian nasional dengan tujuan peningkatan produksi padi menuju tercapainya swasembada beras nasional (Untung, 2007). Dalam program swasembada pangan tersebut, pestisida dimasukkan sebagai salah satu paket produksi yang harus diambil sebagai kredit oleh petani peserta program. Kredit tersebut nanti harus dikembalikan oleh petani setelah panen tiba. Kebijakan intensifikasi pertanian yang mendorong peningkatan penggunaan pestisida oleh petani di Indonesia yang semula belum mengenal pestisida (Untung, 2006). Usaha mencapai swasembada beras dilakukan dengan memanfaatkan semaksimal mungkin teknologi revolusi hijau. Berbagai sarana dan prasarana dibangun seperti bendungan-bendungan besar yang dapat meningkatkan luas panen tanaman padi. Berbagai program peningkatan produksi beras diintroduksikan dan diterapkan secara nasional pada kurun waktu tertentu sampai tahun 1990an.
Pada tahun 1978-1979 terjadi letusan hama wereng coklat padi pada ratusan ribu hektar sawah. Pada tahun 1985–1986, populasi kembali meletus dan merusak lahan padi seluas kira-kira 275.000 hektar (Untung, 2006). Ledakan serupa ini terjadi pula di Malaysia dan Thailand antara tahun 1977 dan 1990 (Whitten et al., 1990). Hama wereng coklat merupakan hama padi “baru”. Sebelum tahun 1970 hama ini belum pernah tercatat sebagai hama padi penting Indonesia. Akibat letusan wereng coklat tersebut pencapaian sasaran produksi beras nasional terhambat. Namun, ironisnya, sampai tahun 1979, banyak pakar belum menyadari bahwa kemunculan dan letusan wereng coklat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari penggunaan pestisida kimia.
Sejak tahun 1977, kelompok pakar perlindungan tanaman mengusulkan agar Pemerintah menerapkan PHT untuk mengendalikan hama-hama tanaman pangan. Pada tahun 1980 Pemerintah melaksanakan Proyek Rintisan Penerapan PHT pada tanaman padi di 6 propinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Dari kegiatan tersebut dapat diketahui bahwa sawah yang menerapkan PHT produktivitasnya tidak berbeda dengan sawah non-PHT tetapi penggunaan pestisida kimia lebih sedikit Untung, 2006).
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai sasaran swasembada beras naional. Pada tahun 1985/1986 status swasembada beras terancam karena terjadi lagi letusan lokal wereng coklat padi di pulau Jawa. Banyak hasil penelitian yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa sebagian insektisida padi yang direkomendasi mendorong terjadinya resurjensi wereng coklat (Untung dan Mahrub, 1986 dalam Untung, 2006).
Pada titik kritis tahun 1985 – 1986, ketika ledakan kedua wereng coklat padi sangat mempengaruhi kondisi swa sembada beras yang baru saja tercapai, Indonesia memilih menggunakan pendekatan PHT. Pemerintah mengumumkan Kebijakan PHT Nasional Indonesia pada tanggal 5 November 1986, dengan munculnya Instruksi Presiden no. 3 tahun 1986 (INPRES 3/86) tentang Pengendalian Hama Wereng Cokelat Padi. Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk melakukan paling sedikit 4 butir kebijakan, yaitu:
1.  Menerapkan PHT untuk pengendalian hama wereng batang cokelat dan hama-hama padi lainnya
2.  Melarang penggunaan 57 nama dagang formulasi (merek) insektisida pada padi
3.  Melaksanakan koordinasi untuk peningkatan pengendalian wereng cokelat
4.  Melakukan pelatihan petani dan petugas tentang PHT
Inpres 3/1986 tersebut merupakan tonggak sejarah penerapan PHT di Indonesia (Untung, 2006). Kebijakan pelarangan pestisida tersebut diikuti dengan kebijakan pemerintah tentang pencabutan subsidi pestisida pada tahun 1989 (Martono, 2009). Langkah-langkah kebijakan tersebut memperoleh penghargaan dari banyak negara dan lembaga internasional (Untung, 2000). Sebagai tindaklanjut dari INPRES 3/86, dibentuklah kelompok kerja menteri antarsektor untuk menerapkan kebijakan PHT. Tanggungjawab penerapan PHT dipindahkan dari Departemen Pertanian ke BAPPENAS.
Prioritas yang diutamakan adalah mengubah perilaku petani, administrator dan petugas pertanian dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan mereka. Kegiatan awal yang dilakukan adalah menyelenggarakan rekrutmen dan kursus kilat PHT untuk memilih dan melatih para calon pemandu, pengamat hama, petugas penyuluh lapangan (PPL) dan petani. Bank Dunia menyetujui realokasi sisa pinjamannya yang digunakan pada proyek Penyuluhan Nasional (USD 4,2 juta untuk Proyek Penyuluhan Nasional tahap II) untuk pelatihan PHT. Integrated Crop Protection (ICP) FAO membantu Direktorat Perlindungan Tanaman Departemen Pertanian untuk memperoleh data lapangan PHT dan memperluas kisaran latihan kepada para spesialis. Varietas tahan wereng (VUTW, misalnya IR36 dan IR64) dipromosikan dengan lebih gencar, dan jaringan Pengamatan, Peramalan dan Peringatan Dini diperluas agar dapat dengan segera mengatasi permasalahan hama (wereng) di lapangan.
Proyek Perintis PHT Nasional dilaksanakan di Jawa, Sumatera dan Sulawesi Selatan. Antara tahun 1980 dan 1983, Program Nasional PHT menerima bantuan teknis dari kelompok khusus IRRI dan proyek penelitian dari Jepang (FAO, 1989). ICP mulai memperkuat Program Nasional PHT Indonesia pada tahun 1980 dengan mengingkatkan paket pelatihan dan teknologi dengan pengalaman yang diperoleh dari proyeksi Program Nasional Filipina. Direktorat Perlidungan Tanaman mengatur pelaksanaan demonstrasi PHT dengan pendekatan yang sama dengan pendekatan pada program Bimas (LAKU). Pada tahun 1984, ICP dan Direktorat Perlindungan Tanaman melakukan survei pada lahan-lahan demonstrasi PHT dan melihat bahwa populasi hama di beberapa wilayah meningkat pesat (van de Fliert, 1993).
Setelah Inpres 3/1986, dukungan yuridis terhadap PHT diperkuat dengan keluarnya UU. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU tersebut menyatakan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu. Berdasarkan UU ini, tahun 1995 Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No.6 tahu 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Dengan dua peraturan perundang-undangan tersebut, kedudukan PHT sebagai kebijakan nasional perlindungan tanaman menjadi sangat kuat (Untung, 2007)

Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.